Untuk kemudahan dalam memahami penyelesaian sengketa investasi internasional, saya ada menyediakan terjemahan Konvensi ICSID.

Pasal 63 EPAJI menentukan tentang larangan mengenakan persyaratan-persyaratan pelaksanaan bagi aktivitas investasi dari investor pihak lain. Dalam ayat (1) Pasal 63 ditentukan bahwa tidak ada  satu pihakpun harus mengenakan atau melaksanakan setiap persyaratan berikut dalam hubungan dengan aktivitas investasi dalam wilayahnya dari investor pihak lain:

 

(a) untuk mengekspor pada tingkat atau persentase barang atau jasa  yang ditentukan;

(b) untuk mencapai tingkat atau persentase kandungan local yang ditentukan;

(c) untuk membeli, menggunakan, atau memberikan suatu preferensi pada barang-barang yang diproduksi atau jasa-jasa yang disediakan dalam wilayahnya, atau untuk membeli barang-barang atau jasa-jasa dari pribadi kodrati atau pribadi hokum atau setiap entitas yang lain dalam wilayahnya;

(d)untuk menghubungkan dalam setiap cara volume atau nilai dari impor pada volume atau nilai dari ekspor atau jumlah masuknya mata uang asing yang diassosiasikan dengan investasi-investasi dari investor;

(e) untuk membatasi penjualan barang-barang di wilayahnya yang investasi-investasi dari investor memproduksi atau menyediakan dengan menghubungkan penjualan-penjualan sedemikian dalam setiap cara pada volume atau nilai ekspor atau mata uang asing yang didapatkan;

(f) untuk menunjuk, sebagai eksekutif atau anggota dewan direksi, individu-individu dari setiap kebangsaan tertentu;

(g) untuk menempatkan kantor pusat dari investor untuk wilayah tertentu atau pasar dunia di wilayahnya;

(h) untuk mencapai tingkat atau nilai yang ditentukan dari penelitian dan pengembangan di wilayahnya; atau  

(i) untuk mensuplai pada suatu region tertentu atau pasar dunia secara eksklusif dari wilayahnya, satu atau lebih barang-barang yang diproduksi oleh investor atau jasa-jasa yang disediakan oleh investor.

Dalam ayat (2) Pasal 63 ditentukan bahwa ayat (1) Pasal 63 tidak menghalangi pihak lain dari mempersyaratkan penerimaan setiap keuntungan, dalam hubungan dengan aktivitas-aktivitas investasi dalam wilayahnya dari investor Pihak lain, mengenai pentaatan dengan setiap persyaratan yang ditentukan dalam subayat 1 (g) sampai (i).

Kewajiban Most-Favoured-Nation Treatment dalam hokum internasional menentukan mengenai perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang. Dalam konteks EPAJI, Pasal 60 mengatur hal ini, dimana dinyatakan bahwa masing-masing pihak harus memberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikannya dalam keadaan-keadaan yang sejenis (like circumstances) kepada investor-investor dari Negara-negara yang bukan pihak pada EPAJI dan terhadap investasi mereka berkenaan dengan aktivitas-aktivitas investasi.

EPAJI tidak menentukan apakah yang dimaksudkan dengan keadaan-keadaan sejenis (like circumstances). EPAJI juga tidak menentukan apakah pemberian perlakuan yang tidak kurang menguntungkan itu harus diberikan dalam keadaan tidak bersyarat atau dengan segera.

Tentu hal ini masih memerlukan elaborasi lebih lanjut dalam pelaksanaan investasi.

Pasal 59 EPAJI menentukan keberlakuan dari kewajiban perlakuan nasional (national treatment). Kewajiban Perlakuan Nasional merupakan suatu pilar dasar dalam hokum perdagangan internasional, yang menentukan bahwa suatu anggota harus memperlakukan produk dari Negara anggota yang lain dengan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang diberikannya terhadap produk domestic sejenis.

Dalam kerangka EPAJI mengenai investasi, EPAJI juga menganut prinsip ini dan menuangkannya sebagai satu kewajiban.

Dalam ayat (1) Pasal 59 EPAJI ditentukan bahwa masing-masing pihak harus memberikan kepada investor dari pihak lain dan pada investasinya perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikannya pada investornya sendiri atau investasinya dalam keadaan-keadaan sejenis berkenaan dengan aktivitas-aktivitas investasi. Tidak ada ditentukan mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan-keadaan sejenis itu.

Ayat (2) Pasal 59 EPAJI menentukan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (1) Pasal 59, masing-masing pihak dapat menentukan formalitas-formalitas khusus dalam hubungan dengan aktivitas-aktivitas investasi dari investor pihak lain dalam wilayahnya, dengan ketentuan bahwa formalitas-formalitas sedemikian tidak dapat mengurangi secara material perlindungan yang diberikan oleh pihak sebelumnya pada investor dari pihak lain dan investasinya sesuai dengan ketentuan dalam Bab 5.

Pasal 74 EPAJI menentukan bahwa untuk keperluan investasi, Masing-masing pihak mengakui bahwa adalah tidak layak untuk mendorong investasi oleh investor dari pihak lain dengan mengendorkan aturan-aturan mengenai lingkungan hidup. Untuk masalah ini masing-masing pihak harus tidak menunda atau menghapuskan aturan-aturan mengenai lingkungan hidup sebagai dorongan untuk pendirian, akuisisi atau perluasan investasi di wilayahnya.

Pasal 75 Economic Partnership Agreement Jepang Indonesia (EPAJI) mengatur pembentukan sebuah sub komite tentang investasi untuk mencapai tujuan efektifnya pengimplementasian dan pengoperasian Bab 5 EPAJI. Sub komite ini sudah ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) butir d EPAJI dimana dinyatakan dibentuk sub komite tentang investasi. Sub Komite ini harus:
a. Melakukan review dan pemantauan pengimplementasian dan pengoperasian Bab 5 EPAJI.
b. Melakukan review atas reservasi yang spesifik dan pengecualian-pengecualian menurut Pasal 64 EPAJI;
c. Mendiskusikan setiap permasalahan yang berkaitan dengan bab 5;
d. Melaporkan temuan-temuan sub komite kepada komite bersama (joint komite); dan
e. melaksanakan fungsi-fungsi lain sebagaimana mungkin didelegasikan oleh komite bersama sesuai dengan Pasal 14 EPAJI
Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) Sub Komite harus:
(a) diisi oleh perwakilan dari pemerintah dan dapat, dan dapat, berdasarkan persetujuan bersama dari para pihak, mengundang perwakilan dari entitas-entitas selain dari Pemerintah yang keahlian yang relevan dengan persoalan-persoalan yang akan didiskusikan; and
(b) dipimpin bersama oleh pejabat-pejabat pemerintah Jepang dan Indonesia.
3. Sub Komite harus bersidaang pada suatu waktu dan tempat sebagaimana disetujui bersama oleh Para Pihak.
4. Sub Komite dapat, sebagaimana perlu, menetapkan aturan-aturan dan prosedur-prosedurnya.
5. Sub Komite dapat membentuk dan mendelegasikan tanggungjawabnya kepada kelompok kerja (Working Groups).

Investasi asing yang bagaimana yang memenuhi persyaratan menurut Pasal 25 Konvensi ICSID dan karenanya harus dilindungi? Dalam PHOENIX v. THE CZECH REPUBLIC (ICSID Case No. ARB/06/5) putusan yang diberikan pada 15 April 2009, tiga anggota majelis yang terdiri dari Brigitte Stern sebagai ketua majelis, Andreas Bucher Juan dan Fernandez-Armesto menolak gugatan Phoenix Action Ltd ( “Phoenix”) melawan Republik Ceko.
Sekedar latar belakang, Phoenix adalah sebuah perusahaan Israel yang membeli dua perusahaan Ceko, Praha Benet ( “BP”) dan Benet Group ( “BG”), pada tahun 2002 meskipun dua perusahaan ini terlibat sengketa – BG dengan sebuah perusahaan swasta , BP dengan Otoritas fiscal Ceko. Republik Ceko mempersoalkan wewenang dari Majelis atas dasar bahwa Phoenix adalah ex post facto entitas pura-pura Israel yang diciptakan oleh seorang warga Ceko agar dapat menetapkan keragaman kebangsaan. Republik Ceko secara khusus meminta Majelis untuk memutuskan apakah entitas asing dapat diciptakan untuk keperluan satu-satunya untuk keragaman kebangsaan, sehingga dapat menjadi dasar untuk mengajukan gugatan di bawah ICSID.
Dalam putusannya, Majelis mengkaji ulang apa yang sering disebut sebagai “Salini test” yang berupaya menentukan apakah terdapat investasi untuk keperluan dari Pasal 25 Konvensi ICSID. Salini test menentukan empat criteria agar suatu investasi memenuhi syarat di bawah Konvensi ICSID, yaitu (a) suatu kontribusi uang atau asset-asset lain yang bernilai ekonomi, (b) suatu jangka waktu tertentu, (c) unsure resiko, dan (d) kontribusi pembangunan bagi negara tuan rumah.
Dalam putusannya, Majelis menentukan enam unsure yang harus dipenuhi agar suatu investasi mendapat manfaat dari Pasal 25 Konvensi ICSID. Artinya agar suatu investasi asing mendapat perlindungan di bawah Konvensi ICSID keenam unsure tersebut harus dipenuhi. Keenam unsure itu adalah:
“1 – kontribusi dalam bentuk uang atau aset lainnya yang bernilai ekonomis;
2 – jangka waktu tertentu;
3 – adanya unsure resiko;
4 – aktivitas-acktivitas harus dilakukan mendorong perbangunan ekonomi dari negara tuan rumah;
5 – asset yang diinvestasikan harus sesuai dengan hukum negara tuan rumah;
6 – investasi harus dilakukan dengan itikad baik.
Jika enam unsure tersebut tidak terpenuhi maka investasi sedemikian tidak mendapatkan manfaat dari perlindungan menurut Pasal 25 Konvensi IDSIC. (Putusan dalam kasus tersebut dapat ditemukan di http://www.icsid.worldbank.org)

Dasar hukum dari arbitrase adalah Perjanjian. Dalam hal arbitrase menurut ICSID, harus ada perjanjian untuk berarbitrase antara Negara tuan rumah dan investor asing. Pasal 25, kalimat pertama, Konvensi ICSID menentukan:

 

The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment, between a Contracting State (or any constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by that State) and a national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre.

 

Pihak yang memberikan persetujuan haruslah suatu Negara penandatangan Konvensi ICSID (atau subdivisi atau lembaga yang ditunjuk) dan warga dari suatu Negara yang merupakan penandatangan Konvensi ICSID. Sebagai tambahan harus ada sengketa yang timbul secara langsung dari adanya investasi.

Partisipasi dalam konvensi sendiri tidak membawa kewajiban apapun atau bahkan perkiraan yang akan menandakan persetujuan terhadap wewenang dari arbitrase. Suatu Negara penandatangan Konvensi ICSID bebas mengenai apakah ia akan memberikan persetujuan atau tidak dan jika member persetujuan sejauh mana.

 

Menurut Konvensi, persetujuan harus dibuat secara tertulis. Namun tidak ada bentuk khusus dimana persetujuan itu dibuat. Persetujuan secara tertulis secara normal dikomunikasikan antara para pihak namun tidak ada kewajiban untuk memberitahukannya pada waktu persetujuan dibuat kepada ICSID Centre.  Pada kenyataannya Centre  tidak mempunyai pengetahuan yang akurat mengenai jumlah dan kandungan dari klausul-klausul yang disetujui mencakup investasi. Namun bukti persetujuan tertulis diwajibkan pada waktu permohonan untuk berarbitrase dibuat.

Persetujuan tertulis harus dibuat secara eksplisit dan tidak boleh semata-mata dikonstruksikan. Dalam Cable TV v. St. Kitts and Nevis, tergugat bukanlah suatu pihak terhadap perjanjian yang berisi klausul persetujuan. Penggugat mendalilkan bahwa persetujuan oleh Tergugat dapat dikonstruksikan dari diadakannya proses oleh  Attorney-General of St. Kitts and Nevis melawan Penggugat dalam pengadilan domestic dari Tergugat. Tujuan dari proses di pengadilan domestic adalah untuk mendapatkan penetapan sementara untuk menghentikan Penggugat dari meneruskan tagihannya sebelum penyelesaian sengketa melalui arbitrase ICSID. Majelis menyatakan bahwa referensi dalam dokumentasi pengadilan pada klausul ICSID dalam perjanjian adalah semata-mata pernyataan mengenai fakta dan tidak dimaksudkan persetujuan oleh setiap orang pada wewenang ICSID (Cable TV v. St. Kitts and Nevis, Award, 13 January 1997). Dalam praktek, persetujuan diberikan dalam satu dari tiga cara. Yang paling sering adalah klausul persetujuan dalam perjanjian langsung antara para pihak. Penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui ICSID yang dibuat dalam klausul yang umum adalah dalam kontrak antara Negara tuan rumah dengan investor. Cara lain dalam memberikan persetujuan untuk berarbitrase melalui ICSID adalah suatu ketentuan dalam perundang-undangan di Negara tuan rumah, kerapkali dalam perundang-undangan mengenai investasi. Dalam perundang-undangan yang demikian Negara yang mengundang investasi asing menawarkan penyelesaian sengketa melalui ICSID kepada investor asing dalam istilah-istilah yang umum. Banyak Negara yang mengundang investasi asing menawarkan hal yang demikian. Investor dapat menerima tawaran itu secara tertulis kapanpun sementara perundang-undangan dimaksud berlaku. Pada kenyataannya, penerimaan dapat dibuat secara sederhana dengan mengadakan proses, Metode ketiga adalah memberikan persetujuan pada jurisdiksi ICSID adalah melalui traktat antara Negara tuan rumah dan Negara asal dari investor yang terdapat dalam Bilateral Investment Treaties (BIT). Kebanyakan BIT berisi klausul yang menawarkan akses pada ICSID kepada warga dari salah satu pihak dalam treaty terrhadap pihak lain pada treaty tersebut.

Metode yang sama dilakukan sejumlah perjanjian kerjasama regional/multilateral seperti NAFTA dan the Energy Charter Treaty. Upaya-upaya untuk menciptakan suatu perjanjian multilateral secara global mengenai investasi yang akan meliputi klausul penyelesaian sengketa telah tidak menghasilkan persetujuan. Penawaran untuk persetujuan yang terdapat dalam traktat harus juga disempurnakan dengan penerimaan oleh investor.

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!